KEKUATAN MENGIKAT PEDE PADA PERSPEKTIF HUKUM ADAT MANGGARAI (STUDI KASUS, STATUS KEPEMILIKAN TANAH WARISAN TANPA HAK DI DESA GOLO WUA, KECAMATAN WAE RI,I KABUPATEN MANGGARAI)
Kata Kunci:
Pede, Sengketa Tanah, Masyarakat Adat Golo WuaAbstrak
Konstitusi Indonesia secara resmi mengakui dan menghormati koherensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup, selaras dengan kemajuan masyarakat dan prinsip-prinsip dasar negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diuraikan pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) menetapkan dasar hukum keberadaan lembaga adat yang bertugas menyelesaikan perselisihan, termasuk yang berkaitan dengan tanah. PEDE ialah tradisi warisan, simbol kearifan lokal dan kerangka resolusi yang berakar pada budaya Manggarai. PEDE dianggap sebagai perlindungan inti dan paling signifikan (modal) di Manggarai, menangani perselisihan dari berbagai tingkat dan jenis. pengamatan para peneliti, praktik pede sudah berkembang, baik dari segi di mana ia terjadi maupun benda ataupun sarana yang digunakan selama lonto leok (duduk bersama). Penelitian ini berfokus pada sifat kaki pada komunitas adat Golo Wua. Tujuan dari penelitian ini ialah guna menggambarkan bagaimana pedes sudah berubah dari praktik historis ke kontemporer di antara penduduk asli Golo Wua. Metodologi penelitian ialah pendekatan sosiologis-yuridis, berfokus pada efektivitas penerapan hukum pada praktik dan memanfaatkan metode kualitatif. Metode pengumpulan data yang dilaksanakan terdiri dari melakukan wawancara. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwasanya masyarakat adat Golo Wua secara tradisional terlibat pada praktik hukum guna menyelesaikan sengketa tanah ataupun konflik lainnya, tetapi saat ini, sudah menjadi kebiasaan guna resolusi terjadi di kantor desa. Barang-barang ataupun sarana yang digunakan pada proses ini sudah berkembang; misalnya, tuak bakok (MokePutih) sudah digantikan oleh bir.